Setelah Satu Tahun Berlalu...


Sekeliling gw tiba-tiba menjadi putih bersih tertutup kabut. Orang-orang yang tadi ada di sekitar gw seperti lenyap ditelan kesunyian. 
Laut Jawa, Desember 2011. Ketika gw hilang di tengah laut Jawa karena badai besar yang tiba-tiba datang di sekitar pulau Menjangan Besar, Karimun Jawa.

Gulungan gelombang besar itu menyapu tubuh gw dan menarik gw kedalam lautan. Gw berusaha sekuat tenaga untuk melawan dan berenang kembali ke atas, tapi semua terasa sia-sia. Ada saatnya gw ga tau kemana arah permukaan itu. Gw berusaha maju, tapi semakin mundur. Napas ini sudah habis rasanya, tapi tidak punya pilihan selain menahannya. Menahan sekuat tenaga dan semampu yang gw bisa. 
8 tahun berselang, gw merasakan kembali hal yang sama. Ketika gw kehilangan papi, yang pergi dari kehidupan gw.

Kabar kematian papi, 3 hari setelah anak pertama gw lahir itu seperti gelombang besar pertama yang menghantam tubuh gw. Goyah, kaget, takut. Sekalipun gw sadar gelombang itu akan datang dan berusaha menyiapkan diri. Gw ga siap dan ga akan pernah siap.
Melihat tubuh papi yang sudah terbujur kaku didalam peti. Gw tenggelam dan berusaha melawan, tetapi perlawanan itu menjadi perlawanan yang sia-sia. Gw ga tau arah mana yang benar untuk sekedar mengambil napas. Gw cuma punya harapan, Tuhan itu baik. Dia tau yang terbaik untuk semua anaknya. Gw yakin dengan tenaga yang tersisa, gw akan menghirup udara di permukaan.

Lalu semua datang…

Teman-teman yang memberi penghiburan, baik yang jauh maupun yang dekat. Keluarga ataupun mereka yang mengaku keluarga, singgah dan bercerita layaknya sebuah dongeng. Tentang semua kebaikan dan sepak terjang papi selama hidup. Betapa hidup mereka berubah dan menyisipkan secara implisit, “semua itu karena Papi!”. Gw Cuma bisa menyimak sambil mengangguk berusaha mencerna dan meng-amin-kan nya.
              
Lagu demi lagu dinyanyikan. Ibadah demi ibadah digelar selama 5 hari 4 malam ritual mengantar papi beristirahat untuk yang terakhir. Kuping gw dipenuhi dengan puji-pujian serta kehebatan papi selama hidup. 
Saat itulah gw merasakan tangan gw sudah keluar dari air. Akhirnya gw menyadari arah mana yang benar untuk dituju. Gw menemukan arah untuk mengambil napas. Dan benar, gw merasakan oksigen yang masuk melalui mulut, turun memenuhi setiap gelembung alveolus yang ada di paru-paru gw. I will survive!
Kami mengantar papi ke liang lahat, dengan penuh air mata dan keikhlasan, yang untuk sesaat gw pikir gw bisa menerima dan menghadapi semuanya. Bahkan ketika tanah mulai menutupi peti.

Lalu datanglah gelombang kedua, .. gelombang ketiga, .. gelombang keempat, .. Yang terus berulang dengan rasa yang lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Itulah gelombang kesedihan yang gw rasakan ketika menyusuri jalan yang biasa kita lalui, makan di tempat kesukaan papi, mendatangi kota-kota yang gak akan mungkin gw datangi kalo bukan papi yang mengajak kesana. Tapi papi sudah ga ada!

Gw rindu suara papi, kangen dengan omelan papi untuk hal-hal receh yang gw lakukan. Rindu perdebatan-perdebatan gak penting yang kita lakukan. Rindu setiap waktu yang kita habiskan bersama sebagai ayah dan anak, mentor dan murid magang nya, atau sebagai teman dan sahabat dalam kehidupan.
Gelombang-gelombang itu terasa sangat menyesakan. Sesekali memberikan ruang untuk bernapas, tapi segera ditarik kembali kedalam lautan. Sudah tak terpikir cara melawan, habis asa untuk bertahan.

Dan tepat ketika gw sudah tidak lagi berusaha untuk bangkit, membiarkan setiap gelombang itu menghempaskan tubuh gw ke berbagai arah dengan ganasnya. Tiba-tiba laut menjadi sangat teduh. Begitu teduhnya sampai gw bisa mendengar rintik air yang jatuh ke laut dengan jelas. Tidak ada lagi gelombang yang datang menerjang. Hanya kedamaian dan air hujan yang membasahi wajah gw. Ini adalah saat ketika gw mengingat setiap kebaikan, kenangan, pelajaran dan cinta yang pernah papi berikan ke gw. Seperti melihat papi tersenyum dari atas sana dan berkata, “semua akan baik-baik aja”.

Setahun sudah papi pergi, dan butuh waktu setahun itu buat gw untuk merasakan kedamaian dari tenangnya laut setelah badai. Papi sudah duduk bersama dengan Tuhan Yesus, dan gw yakin itu adalah kemungkinan terbaik yang bisa diraih dari akhir perjalanan sebuah kehidupan.

You’ll never forgotten, Ongko. Will always live in my heart. Your story and your love, will be passed on thru me and my children.


0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

ini jelas-jelas punya rikes n___n